Langit tampak cerah di atas sana. Sinar matahari lembut menerpa kulitku. Hangat. Aku tersenyum seolah membalas lambaian awan yang bergerak pelan beriringan. Well, satu-satunya yang merusak indahnya pagi ini hanya sakit perut yang sedang menyerangku. Ini bukan sakit biasa. Katanya sih ini adalah berkah yang didapat wanita setiap bulannya. Ya, ampun mana bisa dibilang berkah bagiku ya? Kalau produsen yang menjual obat-obatan atau jamu penangkal sakit memang berkah.

Hari ini aku tidak niat naik bus atau angkutan umum lainnya. Pertama aku tidak mau berdesak-desakkan dalam kendaraan tersebut. Totally uncomfortable. Kedua, aku terlalu ‘pagi’ dari jam pertemuanku. Ketiga, targetku tahun ini adalah menurunkan berat badan setidaknya lima kilogram. Karena itu aku memtuskan jalan kaki. Lagipula jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku.

Mataku berhenti tiba-tiba pada tukang bubur yang sedang melayani seorang ibu paruh baya. Perutku langsung bergejolak. Heran, padahal tadi aku sudah sarapan sepiring nasi goreng. Masa masih minat sama bubur? Bagaimana dengan target menurunkan berat badan?? Ah, shit! Baunya mengoda sekali.

Kakiku berhenti melangkah. Hidungku kembang kempis. Dahiku mengkerut. Beli atau tidak. Beli. Tidak.

Disaat itulah aku melihat dia. Pria berbadan besar. Berambut agak gondrong dengan jenggot tipisnya. Pria itu memakai kaos berwarna krem cerah dipadu dengan celana olahraga berwarna abu-abu. Tidak terlalu tampan. Tapi jelas menarik. Dia mempunyai mata cokelat yang menawan. Dan bibirnya, ya ampun.

OK, STOP!!

Aku ini berminat dengan pria itu atau semangkuk bubur di tangannya??

Baiklah Alena, sekarang dia sudah melihatmu. Dan senyumnya itu. SKAKMAT. Kau mati Alena. Dia tersenyum ke arahmu. Oke ulangi dia tersenyum sambil mengangkat mangkuk buburnya. Apa artinya pria itu mengajakku makan bubur? Well, lumayan sih kalau ditraktir. Lagipula aku masih punya banyak waktu. Baiklah, aku datang menghampirinya atau tidak? Datang. Tidak. Datang.

“Hey, come here!” pria itu berteriak lantang. Kasihan anak kecil yang ada di sampingnya. Dia kelihatan kaget sekali. Mudah-mudahan anak itu masih punya jantung cadangan.

“Me?” tanyaku. Jadi dia ini bule atau orang Indonesia yang sok ke-british-an mentang-mentang lama di luar negeri?

“Yes, you. Come here!” ujar pria itu lagi. Kali ini dibarengi dengan tawa kecil. Huh! Apa-apaan dia itu. Memangnya aku ini badut, seenaknya menertawakanku.

Aku lalu menghampirinya dengan tenang. Dada sedikit kubusungkan. Badan tegak. Dan berusaha menimbulkan bunyi yang berirama dari highheels-ku. Tak tuk tak tuk.

“Yes, can I help you sir?” ujarku dengan nada sopan. Dari jarak yang lumayan dekat ini aku dapat mencium wangi tubuhnya. Aku tidak tahu ini wangi apa. Tapi yang jelas wangi ini mengingatkanku akan laut. Hmm, mungkin dia memakai parfum hiu atau lumba-lumba. Atau mungkin kepiting. I don’t know.

“Ya, can you take a photograph for all of us?”

Dasar bule sarap. Cantik-cantik begini disuruh jadi tukang foto. Harusnya aku yang difoto. Yah, nasiblah. Masih dengan gaya sesopan mungkin aku mengambil kamera yang disodorkan pria itu. Kemudian mengambil beberapa foto. Dari wajahnya sih dia kelihatan pria Spanish. Pantas saja dia girang banget kayanya ketemu tukang bubur. Sampai minta difoto dua kali. Tapi aneh juga di Spanyol gak ada bubur.

“Thank you miss…”

“Alena. Just call me Alena”

“David. I am David from Spain.” ujarnya sambil menjabat erat tanganku. Dan sejurus kemudian dia menarikku ke arahnya. “Say cheese…”

Kilatan cahaya flash sekejap mampir menerpa wajahku. Asal tahu saja aku ini fotogenik. Jadi walaupun dalam keadaan cepat tadi, aku yakin ekspresiku tetap bagus. Hehe

Tapi yang kukhawatirkan bukan itu. Melainkan pria besar berlogat aneh, dengan janggut runcingnya ini, entah sengaja atau tidak, telah mencium pipiku saat cahaya flash tadi mampir. Singkat kata, dia memotret saat dia mencium pipiku. Tidaaaaaak…

Kemudian dengan marah aku berlari menjauh. Menghapus air mataku sambil lalu. Persis anak umur lima tahun yang berlari pulang untuk mengadu kepada orang tuanya karena mainannya telah dicuri. Fuuh berlari dengan penuh gaya. Wuush.

Well, kejadiannya tidak seperti itu.

Kita kembali ke adegan terakhir saat dia menciumku.

Saat itu aku memandang ke arah David. Memandangnya marah. Tanpa komando aku mengambil mangkuk berisi bubur dan langsung menumpahkan ke atas kepalanya. Setelah itu, aku menambahkan beberapa sendok potongan seledri, satu sendok sambal dan terakhir ku tambahkan kecap sebagai toping.

“Nih bang saya ganti buburnya.” Aku menyerahkan selembar uang lima ribuan, lalu berjalan menjauhi tempat itu dengan tenang. Setelah setengah jalan aku melihat ke arah pria tadi. Beberapa orang sudah berkerumun menghampirinya. Sebagian membantunya membersihkan sisa-sisa bubur yang berceceran di tubuhnya. Saat mata kami beradu, dengan santai aku menjulurkan lidahku dan melangkah pergi. Satu doa yang kupanjatkan. Aku berharap tidak pernah dipertemukan lagi dengan pria ini. Amin.

 

Dua tahun kemudian…

“Leeeeen…..” suara Sarah mengema sepanjang lorong rumah sakit. Sambil membawa koran di tangan kanannya, gadis berambut lurus sebahu itu berlari di belakangku.

Hari ini aku sedang menjenguk adikku yang dirawat di sini.

“Ssst.. tenang sedikit bisa kan? Ini tuh rumah sakit bukan lintasan lari” bisikku galak.

“Ups, sorry. Habis tadi aku ditinggalin sih. Oh, lihat deh di surat kabar ini.”

Aku mengambil sebuah surat kabar dari tangan Sarah, temanku. Let’s see. Disini ada berita pencurian kalung berharga. Kasus Bank Kenduri. Perang saudara di Irian. Terus apa yang menarik di sini?

“Sarah, aku tahu kamu sangat tertarik dengan dunia jurnalistik. But that’s you, ok? Not me. Jangan tarik aku ke duniamu ya.” ujarku sambil menyerahkan kembali surat kabar itu.

“Aduuh, makanya Len, bodoh-mu itu jangan dikembang-biakkan. Begini dah jadinya.” Ujar Sarah sambil menarikku duduk di kursi pengunjung rumah sakit.

“Nih liat artikel ini.” Sarah menunjuk artikel yang kulewatkan. Habis ukuran huruf judulnya imut bener, tidak ada gambar dan tempatnya kecil sekali. Tidak salah kan kalau terlewat. Disitu tertulis “Bubur Pembawa Berkah”. Hmm kenapa jadi inget si raksasa Spanyol itu ya?

“Bersambung ke halaman 15…” gumamku sambil membolak balik surat kabar tersebut. Dan disanalah aku menemukan raksasa Spanyol berselimut bubur terpampang di surat kabar. Oh la la la..

“Yang bikin aku kaget adalah David, pemenang lomba photography sekaligus model di foto ini, ingin berterimakasih sama kamu, Alena Latasha.” Ujar Sarah dengan mata berbinar-binar. “Memang kamu kenal David dimana? Kok aku enggak dikenalin?”

“Heiiii…!! Aleeeeeeeeena??! Kok diem??” teriak Sarah sambil menguncangkan bahuku.

OH MY GOD…

 

Tiga tahun kemudian…

Angin berhembus mempermainkan rambutku. Suasana semakin gelap dan sunyi. Aku masih di sini. Entah sudah berapa jam aku di sini. Aku melirik jam tanganku. Jam enam sore, ujarku dalam hati. Aku merapatkan sedikit jaketku. Dingin ini ingin mengusirku dari sini rupanya. Tapi aku tidak selemah itu. Aku belum ingin pergi. Tidak sekarang.

Aku menghembuskan napas panjang. Kusenderkan tubuhku pada bangku kayu yang kududuki. Lalu membiarkan mataku menyusuri setiap sudut taman.

Lampu-lampu taman mulai menyala. Pedagang makanan keliling sudah bersiap-siap untuk pulang ke rumahnya. Walau suasana mulai sepi, tapi aku masih dapat melihat beberapa orang yang tetap tinggal di taman ini. Seperti sepasang ibu paruh baya tak jauh dari tempatku duduk. Mereka masih terlihat bersemangat untuk meneruskan perbincangan meski hari sudah beranjak gelap. Huuuh dingin ini benar-benar ingin mengusirku. Aku lalu membetulkan kembali letak jaketku dan merapatkannya ke tubuhku.

Aku ingin pulang, keluhku. Tapi kalau aku pulang, aku harus menghadapi kenyataan itu. Tidak bisa. Biar saja dia atau seluruh dunia menyebutku seorang pengecut. Tidak apa-apa. Tidak masalah bagiku. Baiklah mungkin aku harus pergi dari sini. Dimana lagi ya, tempat yang asyik untuk bersembunyi?

Aku menyusuri trotoar dalam diam. Beberapa orang berpapasan denganku. Tentu saja aku tidak mengenal mereka. Tapi melihat mereka, aku teringat dia. Aku tertawa. Menertawakan diriku sendiri sebenarnya. Bukankah semua hal mengingatkanku akan dia? Idiot.

Dia. Mengingatnya saja sudah membuat jantungku berdegup tak keruan. Sial, pekikku.

Langkahku berhenti. Tanganku bergetar. Tidak, seluruh tubuhku bergetar. Sebulir air mata jatuh dari mataku. Tidak kurencanakan. Tidak dapat kutahan.

 

Beberapa jam setelahnya…

Aku memasukkan kunci ke handle pintu apartemenku. Aku berharap pria itu sudah pergi. Sehingga aku tidak membuang waktuku percuma di taman, toko buku, bioskop dan rumah makan pinggir jalan. Oh, tidak. Pintunya tidak terkunci. Apa artinya dia masih di sini? Aku melihat jam tanganku. Sudah hampir tengah malam. Ah, mungkin dia hanya lupa mengunci pintunya kembali. Dia sudah pergi, ujarku berusaha meyakinkan diriku sendiri. Tapi walau begitu aku bisa merasakan jeritan sebagian diriku yang menginginkan kehadirannya di sini.

Tiba-tiba handle pintu berputar dan pintu pun terbuka. Degup jantungku semakin cepat.

“Hei, akhirnya kamu datang juga. Kami justru sudah mau pulang” ujar Toni.

“Kami?” tanyaku bingung. Memang apa yang telah atau sedang terjadi di dalam?

“Yup, kami!!” ujar Sarah yang kepalanya menyebul diantara pintu dan Toni. “Tapi sayang sekali kami akan pulang. Bayangkan , kami menunggumu di sini sejak jam empat sore!! Oh, dear, are you alrite?”

Aku mengangguk.

“Ya, tadi aku harus menemani Nina, sepupuku, ke dokter gigi dan kemudian mengajaknya ke bioskop sebagai kompensasi karena dia harus ke dokter.” Ujarku berbohong. Aku tahu baik Toni maupun Sarah tidak mempercayai semua itu. Mana mungkin tanteku, mama Nina, memperbolehkan anaknya yang berumur enam tahun pulang selarut ini.

“Dia, ada di dalam. Temui dia.” Ujar Sarah melembut. Tapi sorot matanya ke arahku penuh peringatan. Aku hanya mengangguk kecil.

“Baiklah, kita pergi sekarang. Bye Len.” Ujar Toni sambil mencium pipiku. Sarah juga melakukan hal yang sama. Tapi sebelum pergi, ia membisikkan sesuatu di telingaku.

“Dia membatalkan tiket pesawatnya hanya karena ingin bertemu denganmu. Setidaknya hargai itu.” Aku menutup mataku. Setelah mereka pergi, aku semakin tak bisa bernapas. Seolah mereka membawa semua oksigen pergi bersama.

Aku menutup pintu apartemen pelan-pelan sekali. Seolah aku ini pencuri yang takut ketahuan pemilik rumah. Dan kemudian saat aku memutar badan, pria itu ada di sana. Pria dengan kaos lengan panjang hitam dengan matanya yang coklat. Aku membuang muka dan dengan langkah kikuk menghampiri sofa.

“Maaf, aku telat.” Ujarku.

Hening. Aku tahu dia masih menatapku. Bahkan saat aku sudah duduk di sofa. Hampir tak bergerak. Punggungku rasanya panas sekali. Meleleh sepertinya karena ditatap terus menerus olehnya. Masa bodohlah, pikirku. Kalau dia tak mau bicara, untuk apa aku bicara. Aku pun memejamkan mata sembari menyenderkan tubuhku ke sofa.

“Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal”

Aku tetap tak membuka mataku saat itu. Hatiku terasa sangat sakit sekali mendengar ucapannya. Semudah itukah dia mengucapkan kata sialan itu.

Kemudian dia juga diam. Aku tahu dia masih di belakangku. Entah dia melakukan apa tapi aku tahu dia masih ada di sana. Berdiri dan tak bicara. Sesekali aku mendengar hembusan napasnya yang berat.

“Apa kamu tidak ingin mengatakan sesuatu?”

Suaranya bergetar saat menyelesaikan pertanyaan tadi. Aku tak tahan. Perlahan kubalikkan tubuhku menghadapnya. Kutemukan David menatapku sendu.

“Can you hug me now?”

Aku menunggu reaksinya atas permintaanku barusan. Dia tersenyum kecil kemudian beranjak dari tempatnya dan menghampiriku. Aku merasakan getaran-getaran aneh yang melumuri setiap permukaan tubuhku.

“Where did you go?”

Aku tidak menjawab, justru sibuk memelintir kaos hitamnya. Tangannya yang besar menyentuh tanganku dan menghentikan aktifitas memelintir yang mengasyikkan itu.

“Where did you go?”

David mengulangi pertanyaannya lagi. Kali ini nada suaranya lebih lembut. Aku yang terbawa suasana, mencoba bersembunyi dalam hangat pelukannya. Seandainya aku bisa mempunyai waktu lebih banyak lagi bersamanya.

“I don’t wanna talk bout it.”

“So what’s you wanna talk bout?”

Aku menarik napas. Menghembuskannya pelan-pelan. Mencoba menenangkan hatiku yang bergemuruh layaknya petir di tengah badai.

Tanpa sadar pikiranku melayang saat pertama kali kami bertemu. Konyol sekali. Semuanya gara-gara bubur ayam. Kemudian saat aku menemukan foto David berlumuran bubur yang entah pake susuk apa bisa menjadi pemenang dalam lomba photography. Lalu pertemuan pertama kami setelah insiden bubur tersebut di sebuah acara launching buku, yang penulis buku itu rupanya adalah adik kandung David.

Pertemuan itu berlanjut ke pertemuan berikutnya dan berikutnya dan berikutnya. Sampai beberapa bulan kemudian David mengajakku berpacaran. Aku tak menolak karena sesungguhnya saat Tuhan mempertemukan kami kembali di acara launching itu, entah kenapa lamunanku tak pernah lepas dari sosoknya, rencana masa depanku tak pernah luput dari kehadirannya dan dunia menjadi penuh rasa saat ia menyesapi kehidupanku.

Aku mencintai pria menyebalkan yang mengaku-ngaku sebagai bule dari Spanyol ini padahal sebenarnya dia hanya mewariskan wajah bule Spanyol-nya tersebut dari sang nenek. Dia lahir dan besar di Jakarta. Tapi kemudian setelah lulus SMA, dia melanjutkan studi ke Spanyol mengikuti ayahnya yang dipindahtugaskan ke sana.

“What do you think if I say I hate you go?” Aku berusaha menetralkan nada suaraku. Sehingga rasa sedih yang terasa menyengat tak turut menyerang dirinya. “Bagaimana kalau ternyata aku sangat membutuhkanmu di sini? Sebut saja selama dua tahun ini aku bergantung padamu. You stole my life, my mind, my heart, and my soul. You just left hope. Hope that you will hear me. Hear my painful because wanting you so much.”

“I should go. You know that.”

“Then choose me. Let me be the reason for you to stay.”

Aku sudah tak lagi memeluknya. Kini yang kulakukan adalah menatap matanya lekat-lekat. Untuk membuktikan kalau aku serius akan ucapanku.

“What if I’m not the one you wanted to be with?”

“How can you say that?”

Hah!! Benar-benar susah dipercaya. Memangnya dia kira selama dua tahun ini aku hanya bercanda telah menitipkan hatiku padanya. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Dikiranya aku seperti abg labil apa?? Grrrr..

“What if I did disappoint you? Do you still want me to stay?”

Aku mencari pesan tersembunyi dalam pertanyaannya barusan. Tapi sinar matanya begitu jernih. Tak ditemukan suatu hal yang mencurigakan.

“What do you think if I say yes? Will you stay?”

“You didn’t answer my question.”

“Did you answer my question?”

“You’re first.”

Aku memandang kesal ke arahnya. Selalu saja aku yang kalah setiap berdebat dengannya. Apakah hanya aku yang bisa merasakan lelahnya berdebat dengan orang yang dicintai? Hizzzz…

“Well, you are the only guy I wanted to trough life with. Don’t laugh. I’m serious!!” Aku mencubit lengannya sampai ia merintih kesakitan. Kubiarkan tatapan membunuh andalanku menghujam tubuhnya.

“Even if you did disappoint me, well you did it so many times actually. I still love you. Let’s say I had a million reasons to let you go but I would look for a good one to make you stay here with me.”

Aku menyentuh pipinya dan membiarkan janggut tipisnya menusuk kulit tanganku. “Just don’t go, okay?”

Sebulir air mata jatuh dari pelupuk mataku. Jari jemari David pun menghapusnya lembut. Tapi hal tersebut malah membuat air mataku jatuh semakin deras dan tak terkendali. Aku kemudian memilih bersembunyi kembali dalam pelukannya dan membebaskan diri untuk terisak di sana. David dengan sabar membelai rambutku penuh kelembutan. Akankah ini menjadi moment kami yang terakhir?

Alisku mendadak terangkat ketika merasakan tubuh David berguncang hebat. Samar-samar kudengar suara tawanya tertahan. Ini aku yang salah dengar atau begimana? Bukankah sekarang sedang adegan romantis antara sepasang kekasih yang akan berpisah dalam beberapa jam ke depan?

Aku mengangkat kepalaku dan menemukan tangan kanan David bertengger di bibirnya. Hah! Aku tak mungkin salah. Pria ini memang sedang menahan tawanya.

“Apanya yang lucu?” Tanyaku dengan nada marah.

David menghindari tatapan menyelidikku. Namun kemudian tawanya benar-benar terdengar. Keras dan jernih.

“I’m sorry love. It’s just a lie.”

“WHAT?”

David tertawa lagi. Lebih keras dari sebelumnya.

Aku mencekik lehernya. Yeah walaupun aku tahu, sekuat apapun aku mencengkram lehernya dengan kedua tanganku, pria berbadan besar ini tidak akan merasa kesakitan.

“Aku tidak berencana untuk kembali ke Spanyol dan meninggalkanmu sendiri di sini.”

Aku melongo tak percaya.

“HOW DARE YOU?”

David melindungi tubuhnya dari pukulanku yang membabi buta di tengah derai tawanya yang semakin sulit untuk dikontrolnya.

“It’s been a long time for me not to hear your sweet words. I miss them.”

Aku membuang muka. Kesal sekali dengan tingkahnya.

David meraih tanganku. Ups sorry ya, rayuan enggak akan mempan meruntuhkan dinding kekesalanku saat ini.

“Apa kamu ingin tahu rencanaku yang sebenarnya?”

“Tidak tertarik.”

Aku mendengus marah. David kembali tertawa.

“Oke, aku tertarik. Asal kamu berhenti ketawa!”

“Alrite.” David lalu merogoh ke dalam kantong celananya. Tak lama sebuah kotak berlapiskan beludru berwarna merah telah tersaji di tangan kanannya. Aku terdiam seperti orang bodoh. Aliran darah mendadak macet ketika kotak itu terbuka dan memperlihatkan sebuah cincin bermata satu tersemat cantik di dalam. David mengambil cincin tersebut dan berbisik lirih ke arahku.

“Please don’t ruin this love.”

Aku memicingkan mata mengejek. Bukankah dia yang selalu mengacaukan suasana? Dasar kakek pikun.

“Will you marry me?”

“Ahh, call me nicely.” Ujarku diakhiri dengan aksi menjulurkan lidah.

David menarik napas panjang.

“Will you my only love marry me?”

“Mmm… not convincing. But okay. I mean yes. YESS..!!”

Aku tertawa dan David pun ikut tertawa bersamaku. Tak butuh waktu lama untuk melihat cincin cantik itu tersemat di jari manisku.

“Thank you for coming into my life.”

Aku tersenyum sambil mengecup lembut pipinya.