[05.12.2010]

Gue dibangunkan oleh suara Bondan Prakoso yang dengan semangat teriak-teriak lewat speaker handphone. Baru setengah sadar, suara Bondan tiba-tiba lenyap. Rupanya Devie si pelaku miscall. Ternyata sebelumnya dia juga meninggalkan sebuah sms untuk mengecek apakah gue sudah bangun atau belum. Well niatnya mau tidur kembali tapi mengingat hari ini gue akan berkecimpung dalam sebuah acara besar nan penting, so there’s no time for lazyness!!

Setelah gedubrakan di toilet pada pukul setengah enam pagi, gue berhasil selamat dari terjangan air super dingin. Yaa demi Liya, yang kakaknya menikah hari ini, gue menyempatkan mandi di Minggu pagi.

Tak sempat sarapan, Ibu gue yang terlihat kalah cantik dengan gue pagi ini, membuatkan segelas kopi susu dengan asap masih mengepul. Terserah deh mau dibilang nenek-nenek kek, I still loved enjoying coffee in the morning 😀

Jam enam pagi lewat lima menit gue sudah meluncur ke rumah Liya. Di tiga perempat perjalanan gue berpapasan dengan sebuah motor yang dicurigai adalah Devie dan adiknya, Imam. Dan memang kecurigaan gue benar. Sambil cekikikan enggak jelas, gue dan Bang Yanto, tetangga gue, membututi motor yang ditumpangi Imam dan Devie dari belakang.

Sesampainya di gang rumah Liya, sempat cekikian bentar dengan Devie, gue pun langsung tancap gas ke rumah Liya. Di dalam rumah Liya sudah berkumpul beberapa orang. Masih dengan baju tidurnya, Liya memboyong gue dan Devie ke markas besar Big-Event-For-Today. Untuk mencapai tempat tersebut kita harus melewati lorong sempit-panjang nan curam. Sempat kerepotan dengan high-heels gue yang nyolot sekali memporak-porandakan keseimbangan tubuh seksi milik gue.

Markas tersebut berbentuk rumah dengan ornament kayu yang kental. Gue suka dengan landscapenya yang unik. Ketinggian antar ruangan dibuat berbeda yang kemudian dihubungkan dengan beberapa anak tangga. Di sana kita langsung disambut dengan hangat. Dan kemudian mulai dirias. Tahukan anda saudara-saudara?? Waktu si perias merapikan alis gue dengan alatnya, widiih sakit cuuy…tapi sedikit puas dengan hasil riasannya. Point plus terletak di riasan mata gue. Jadi kepikiran buat belajar padu padan warna eye-shadow. Point minus terletak di riasan bibir, yang lipsticknya enggak rata dan bedaknya yang sekali usap langsung luntur (alhasil hidung gue yang doyan keringetan, mendadak perlu di bedakin ulang hehehe). Setelah selesai di make up, gue pun mendatangi seorang ibu dengan kemeja kotak-kotak merahnya. Beliau-lah yang akan memakaikan jilbab. Yeah, gue jadi wanita berjilbab hari ini. Dan entah kenapa gue merasa so excited memakai jilbab. Mmm, mudah-mudahan bisa cepat menjilbabkan hati gue jadi enggak perlu malu untuk segera menjadi anggota jilbabers, hehe…

Beberapa menit kemudian gue dan Devie sudah siap. Suasana mulai crowded ketika waktu acara sudah mendekati waktu mulai. Liya dan beberapa kerabatnya mulai terlihat heboh hilir mudik.

Tempat acara nikahan kakaknya Liya, kak Yenni, terlihat megah. Di bagian depan sudah tersedia sebuah meja penerima tamu yang nantinya akan menjadi singasana gue dan Devie. Meja tersebut berjumlah dua buah, satu di sisi kanan dan satu di sisi kiri. Kita sepakat untuk memilih meja sebelah kanan. Karena ditinjau dari tempatnya yang tersembunyi dari tajamnya sinar matahari. Kekurangannya cuma satu, yaitu di belakang meja tersebut merupakan rumah tinggal beberapa ayam yang rupanya agak sensitive karena tidak diundang ke nikahannya kak Yenni. Alhasil untuk memboikot acara, mereka mencoba untuk berkokok dan berkotek senyaring-nyaringnya. Agak terganggu sih. Tapi tidak cukup untuk memberikan alasan agar menghentikan acara ini. Kan enggak keren banget kalau sampai muncul berita :

“Pernikahan kak Yenni dibatalkan berkat aksi protes para ayam yang heboh berkotek dan berkokok sebagai bukti kemarahan mereka karena tidak diundang”

In other side, peristiwa ayam ini sempat membuat gue, Devie dan orang-orang lain yang mendengar jadi tak kuat menahan tawa. Hahaha…

Seperti yang sudah tersirat di atas, gue dan Devie bertugas sebagai penerima tamu which is kita pula yang mengatur proses pembagian souvenir. Dan tugas pembagian souvenir itu yang rada susah kita handle. Maklum aja deh sama masyarakat Indonesia. Mereka nyemplungin amplop cuma satu orang (bahkan ada yang gak), minta souvenirnya lebih dari satu. Ck ck ck. Parahnya baik gue dan Devie mempunyai kadar kebaikan dan gak tegaan yang lumayan besar. Jadinya ya terpaksa kita kasih.

 

“Kok lo gak kasih sih??”

Yang bertugas menjadi penerima tamu selain gue dan Devie, masih ada dua orang lagi. Sebutlah bebek dan domba. Mereka yang pada dasarnya memang lebih tua, kelihatan sekali ingin menindas gue dan Devie. Mungkin dikira muka kita yang melankolis gampang sekali buat ‘ditindas’. Ups sorry girls, we just aren’t the same like you thought.

Kesan itu muncul pas ada tamu undangan yang menulis kehadirannya di buku tamu milik bebek dan domba. Otomatis menurut gue yang berhak memberikan souvenir adalah pasangan bebek dan domba. Anehnya pas si tamu meminta souvenir, older-couple itu mengatakan souvenir milik mereka belum ada, alias belum diberikan ke mereka. Berhubung letak meja mereka (saat itu) sudah dipindah, yang tadinya diletakkan berseberangan dengan meja gue, dipindah menjadi sejajar, jadi gue bisa dengan jelas melihat tumpukan kardus yang berisi souvenir di bawah meja mereka. WTH..??!

Tapi pikiran-pikiran negative langsung dibuang oleh Ms. Positivity. Dia memberikan pendapat, the-older-couple mengelabui para undangan untuk mendisiplinkan para undangan dalam meminta souvenir. Karena pada saat itu belum ada perintah untuk membagikan souvenir.

Yang kemudian membuat gue gondok setengah semaput adalah si bebek dengan gaya juteknya membisikkan sesuatu setelah tamu tersebut menghilang dari pandangan, ”Kok lo enggak kasih sih?”

Dengan gaya polos gue menjawab, ”Emang kalau pihak keluarga tetap dikasih?”

Hal ini gue pertanyakan karena sebelumnya dapat wejangan kalau harus hati-hati memberikan souvenir.

Bebek makin jutek, ”Iyalah!”

Gue kaget. Wehh kenapa dia malah sewot. Kalau dia sadar memang wajib memberikan souvenir ke tamu tadi, kenapa bukan dia yang ngasih? Malah pake alasan enggak ada souvenirnya lagi! Hizzz…

 

“Kirab”

Seorang pria berkacamata menghampiri gue dan Devie yang sudah duduk manis di bangku penerima tamu. Pria ini kemudian memberikan arahan.

“Susunan mejanya diusahakan seperti ini dulu. Nanti setelah kirab baru mejanya dipindahkan ke dalam.”

Memang pada awal sebelum acara dimulai, sempat terjadi perdebatan letak meja penerima tamu. Karena meja di sebelah kiri terlalu bermandikan cahaya matahari.

Mendengar arahan bapak berkacamata, gue cuma manggut-manggut sambil memantapkan hati untuk bertanya ke Devie nanti tentang arti kirab.

Devie terlihat serius sekali menanggapi arahan bapak berkacamata. Dia mengangguk tanda mengerti perihal arahan tersebut dengan penuh keyakinan. Gue jadi terbawa semangat positive Devie. Walaupun sebenarnya gue enggak ngerti apa yang sedang diomongin bapak berkacamata itu.

Bapak berkacamata itu pun pergi.

“Eh phe…”

Gue menengok ke arah Devie dengan santai.

“Ya?”

“Kirab apaan sih?”

“Lah lo enggak tau Dev?”

“Enggak”

Eehhh????

 

Oh noo, Afghan is here…!!

Pandangan gue beberapa kali hinggap ke sosok seorang pria berjas hitam yang berdiri tak jauh dari tempat gue duduk bersama dengan Devie. Pria itu terlihat masih muda. Mungkin umurnya di bawah gue. Badannya tinggi dan kurus. Berkacamata. Well his looks just like Afghan Syahreza.

Pria itu betah banget berdiri mematung di pinggir jalan. Kadang dia mengeluarkan handphone dan membiarkan tangannya menari-nari di atas keypad handphone. Kadang dia tiba-tiba menghilang dan muncul lagi di posisi yang sama. Ada kemungkinan dia merupakan salah satu petugas security.

Ketika gue bertanya siapakah pria yang mukanya nyontek penyanyi solo duta PONDS itu?? Liya menerangkan kalau dia masih saudaraan jauh. Ya, setidaknya itu yang berhasil ditangkap otak-masih-beku-di-minggu-pagi milik gue, hehehe.

“Ah, jangan-jangan lo sama dia…” ujar Devie yang gayanya mirip host Insert, Indra Herlambang. Eh dia cowo ya?

Liya dengan cepat membantah,”Enggaklah”

Tapi ketika hari semakin siang pernyataannya berubah. Dia malah terkesan pengen diledekkin. “Mungkin aja kan gue sama (mirip) Afghan?”

Tapi lagi nih, dia kembali merubah pernyataannya setelah the special guest, *sensor* datang. Pria kurus tinggi ini terlihat betah sekali bercengkrama dengan Liya. (Kalimat ini tidak dapat dibuktikan secara nyata, tapi menurut hipotesa duo maut Devie&Dphe, hal ini sangat mungkin terjadi. Dan untuk menambah ‘bumbu’ post ini, kalimat tersebut berhasil lolos jarum editing).

 

Ugh…WFC Crew has arrived!

Kedatangan WFC Crew adalah kejadian paling ditunggu sekaligus tidak ditunggu baik oleh gue maupun Devie. Ditunggu karena memang suasana akan tambah meriah dan menyenangkan dengan kehadiran mereka. Tidak ditunggu karena kita kurang percaya diri dengan penampilan kita saat ini. Devie adalah orang pertama yang menyadari kehadiran klan camen itu. Maka dimulailah aksi panik ala gue dan Devie. Kita berdoa sekaligus harap-harap cemas, supaya Liya bisa muncul. Tapi Liya yang memang kehadirannya muncul tenggelam di pandangan kita berdua, tidak muncul juga.

“Ihh mereka ngeliatnya biasa aja kek!” Devie yang curi-curi pandang ke arah tempat parkir terdengar sedikit kesal sambil menahan tawanya (bingung ya ada orang kesal tapi nahan tawa? Coba deh gaul sama gerombolan camen-camen ini, pasti sudah biasa ngeliat yang unik-unik begitu XD)

Gue dengan gaya sok acuh, ikutan curi-curi pandang dan menemukan wajah terpana dari WFC Crew. Well Devie bener. Terpananya mereka enggak biasa. Kayak lagi ngeliat gajah maen skateboard atau singa lagi maen suling. Ekspresi mereka bikin kita jadi deg-degan. Enggak usah tanya kenapa. Yang penting kita ngerasa deg-degan.

Setelah sempat ngerumpi di tempat parkiran, WFC Crew kemudian mendekati tempat pernikahan kak Yenni digelar. Seperti biasa kebingungan melanda personil WFC Crew yang akan menuliskan nama di buku tamu.

Berhubung bebek dan domba yang tak kunjung kembali ke pos-nya, gue serta Devie tidak bisa berkumpul bersama gerombolan WFC Crew.

“Mereka sholat lama banget ya Dev?”

“Ho-oh.”

“Berarti nanti kita yang lama aja.”

“Iya, nanti yang lamaan aja.”

Dan memang kita sepertinya lebih lama meninggalkan pos. Ah, gue rasa dikasih waktu paling lama sekalipun gue masih tetap akan merasa kurang. Karena seperti yang sudah gue bilang, WFC Crew mampu membuat suasana menjadi menyenangkan. Well, siapa yang akan bosan dengan situasi tersebut?

Bukan seperti yang gue duga ataupun Devie duga, WFC Crew mendadak ingin segera pulang. Tumben banget. Padahal waktu kondangan ke kakaknya Bdul ataupun kakaknya Ndap, kita perlu ‘diusir’ dulu baru pulang. Tapi ini belum sempet ‘diusir’ mereka sudah tidak sabar untuk pamit pulang.

Padahal tadi berniat untuk pulang bareng mereka, hikszz…

Devie pun beranalisis kembali. Begini menurut pandangannya.

“Anomali ini disebabkan karena hilangnya tiga komponen penting dalam suatu susunan solid (baca: karena keabsenan gue, Devie, dan Liya, maka WFC Crew kurang merasa nyaman untuk berlama-lama)”

Tanpa perlu berpikir panjang gue pun langsung mengacungkan jempol tanda setuju, “Yoi yoi…!!”

Fakta-fakta menarik sepanjang acara :

  1. kalau di pertandingan sepakbola ada Player of The Match, di nikahan kakaknya Liya perlu adanya Person of The Wed, yang tak lain dan tak bukan adalah “BU JOKOOO”.
  2. akhirnya gue ketularan Devie juga untuk sedikit memberikan ruang perihal rencana my future wedding.
  3. rahasia kedekatan Liya dengan *sensor* yang berhasil tercium.
  4. seekor ayam meneror empat gadis berkostum kuning dengan tiba-tiba muncul dan entah bagaimana caranya bisa nangkring di atas dahan pohon yang di bawahnya merupakan pos penerima tamu.
  5. ditemukan bukti-bukti keberadaan syndrome camen yang rupanya juga melanda keluarga besar Liya. Pantas nenek satu itu mengandung virus camen yang luar biasa tinggi.
  6. menjadi saksi bahwa beruntung sekali menjadi orang Indonesia khususnya Jawa, dimana gotong royong sudah menjadi suatu hal yang biasa untuk dilakukan dengan keikhlasan dan hati riang.

And the show must be ended…

Jam menunjukkan angka enam sore. Saatnya untuk berbenah dan pulang. Gue dan Devie pun meninggalkan pos kita dan bergegas menuju markas besar. Dan legaaaaaa banget rasanya melepaskan ikatan kencang yang melilit kepala gue sepanjang acara.

“Tuh Dev ada melati. Mau enggak lo?” tanya Liya.

“Mau sih. Tapi kenapa ya kesannya gue jadi pemburu melati gini?”

Hahahaha, teman senasib sepenanggungan gue satu itu (baca: Devie) emang cocok banget jadi duta pemburu melati. Ibaratnya di dahi Devie tertulis ‘minta melatinya doong’ yang hanya muncul pas acara nikahan. Hahahaha.

Menurut mitos kuno orang jawa, kalau kita mendapatkan melati pengantin, insyaallah akan cepat ketularan mejadi pengantin juga.

“….mawarnya…”

“Eh apa Dev? Mawar??” tanya gue dan Liya diiringi dengan gaya meledek. “Melati kaliii…hahahaha”

Akhirnya setelah beberapa menit menghabiskan waktu berganti pakaian dan merapikan sedikit penampilan, gue dan Devie siap untuk pulang. Sambil menunggu kak Yenni untuk menghalalkan bunga melati yang diincar Devie, kita berdua pun duduk di atas sofa yang diletakkan di depan ruang kamar tempat kak Yenni berada.

“Oh, mau minta melati ya? Ini juga ada.” Ujar suaminya kak Yenni sambil memperlihatkan kalung melati yang tadi dipakainya. “Nih tadi tuh banyak yang ngambilin melatinya juga.”

Dan memang benar saja. Susunan kalung melati itu sudah tak beraturan. Bolong-bolong di beberapa sisi. Bunga melatinya pun sudah layu dan menjadi cokelat. Sudah pasti tidak masuk audisi melati yang akan dibawa pulang oleh Devie.

Kemudian tak butuh waktu lama bagi kak Yenni untuk membiarkan Devie membawa salah satu untaian bunga melati yang dimilikinya.

Dengan muka berbinar-binar Devie berhasil mengantongi untaian bunga melati yang panjang dan berjumlah lebih dari satu untaian. Sementara gue yang juga ‘kepingin’, kemudian membawa untaian melati yang lebih kecil.

Saat hendak keluar dari markas besar, terdengar sahutan kak Yenni dari dalam rumah, ”Deviee, melatinya udah bawa belum? Nih masih ada.” Dia mengarahkan melati yang sedang dipegangnya.

Devie nyengir sambil terpana melihat untaian bunga melati yang tidak kalah panjang seperti yang sudah dibawanya. “Enggak kak, udah ada.”

Gue memandang Devie sambil menahan tawa. Cewek yang Januari nanti mau hijrah ke Ambon ini memang sudah mantap menjadi icon ‘Sang Pemburu Melati’  sepertinya. Wuihh ganas.

“Ck ck ck padahal kurang panjang gimana lagi coba melati gue, Phe!” ujar Devie diselingi dengan tawa.

Rupanya selain mendapatkan sambutan yang ramah dari keluarga besar Liya, pelajaran kehidupan yang berharga dan rasa persaudaraan yang semakin erat, gue dan Devie dibawakan sekantong penuh makanan sisa acara. Mantaplah gan.

Rintik-rintik hujan pun menghiasi langit malam Jakarta. Beberapa kursi sudah mulai dilipat dan ditumpuk menjadi satu. Sampah-sampah yang berserakan disapu dan dikumpulkan. Beberapa piring kotor diangkut untuk kemudian dicuci.

Rintik hujan semakin deras ketika Devie berhasil menemukan Imam yang sudah datang menjemput. “Phe cowok gue cemberut nih! Haha…” sahut Devie dari kejauhan. Gue cuma membalas dengan senyum. Lalu menyambut lambaian tangan Devie yang sosoknya mulai menghilang dari pandangan gue. Well, acaranya berjalan lancar and I should thank God coz it.

Atas nama pribadi dan keluarga, kami mendoakan agar kak Yenni dan suaminya bisa membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah. Yang lebih penting lagi semoga hubungan mereka akan semakin erat seiring waktu sehingga sampai menjadi kakek dan nenek tetap rukun-rukun saja. Amin..!